Tapanuli Tengah. Nama Ikan Batak sesungguhnya masih cukup populer. Ikan legenda penghuni kawasan hulu perairan yang jernih dengan dasar berbatu dan mengalir deras.
Nilai penyajiannya dalam acara adat Batak pun sangat tinggi. Pada zaman dulu, Ikan Batak yang rasanya manis, gurih dan lezat itu terkenal sebagai makanan para raja.
Sayangnya, populasi Ikan Batak ini cenderung menurun dan mulai langka hingga jadi permasalahan serius, khususnya bagi masyarakat Sumatra Utara.
Untuk menjaga kelestarian Ikan Batak dari kepunahan, masyarakat di beberapa tempat dengan kesadaran dan kearifan lokal membuat lubuk larangan.
Politikus senior yang juga penulis, Dr Baharuddin Aritonang “Si Orang Batak Naik Haji”, terinspirasi dengan fenomena alam itu, hingga ia pun menulis buku berjudul “Ikan Batak”.
Baharudddin berharap, melalui buku tersebut Ikan Batak bisa lebih banyak diteliti dan semakin dikembangkan untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia dan dunia.
“Ikan Batak ini sudah akrab sejak kecil, tapi kok tidak pernah diteliti orang dan dikembangkan. Sementara populasinya mulai terbatas di perairan umum,” kata Baharuddin Aritonang, usai acara launching dan bedah buku “Ikan Batak” di aula kampus STPK Matauli di Pandan, Rabu (8/3/2023).
Menurut Baharuddin, pelajar dan mahasiswa di sekolah dan perguruan tinggi unggulan di bawah Yayasan Matauli bisa melakukan studi tentang pengembangan dan budidaya Ikan Batak.
“Bang Akbar Tandjung kan membuka sekolah tinggi ilmu perikanan dan kelautan, jangan nanti sampai punah Ikan Batak ini,” katanya.
Selain itu, mahasiswa dapat membuka cakrawala baru, bahwa lapangan kerja itu tidak hanya PNS dan pekerja kantoran saja, karena budidaya Ikan Batak bisa menjadi peluang usaha dan membuka lapangan kerja baru.
“Ini bisnisnya oke, karena harganya mahal. Kalau dia (mahasiswa) bisa budidaya, lapangan kerja di masa depan akan terbuka. Cijeruk sudah berhasil membudidayakan Ikan Batak ini,” katanya.
Terlepas dari jenis ikan yang dilindungi, kalau memang ikan ini bisa dibudidayakan masyarakat dan populasinya sudah banyak.
“Ada ahli yang mengatakan, kalau keanekaragaman hayati dan kearifan sosial melarang, tentu membatasi masyarakat untuk membudidayakan. Jadi agak rancu kalau dibuat dilindungi,” katanya.
Dia berharap, Ikan Batak bisa dipelihara dan dikembangkan, kemudian menjadi komoditas yang diperdagangkan sehingga pasokan di masyarakat tersedia.
Ketua Umum Yayasan Matauli, Fitri Krisnawati Tandjung mengapresiasi launching dan bedah buku Ikan Batak di kampus STPK Matauli.
Fitri berharap, buku tersebut bisa memberi inspirasi dan semangat bagi putra daerah untuk mendokumentasikan fenomena budaya atau hal baik lainnya yang dapat dilestarikan.
“Sangat kita sambut baik, apalagi penulisnya merupakan putra daerah Tapanuli yang menunjukkan kepedulian melakukan penelitian, observasi hal-hal sesuai dengan lokal budaya. Itu bisa menjadi nilai tambah, khususnya untuk melestarikan satwa, tumbuhan, maupun budaya itu sendiri,” katanya.
Dia menjelaskan, Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan (STPK) Matauli memiliki program studi budidaya perairan (akuakultur), bahwa fokus penelitian nanti salah satunya adalah Ikan Batak (Tor Soro), kerapu, dan baronang.
“Pengembangan Tor Soro ini tidak sekadar hanya membuka kesempatan, tapi diharapkan bisa meningkat baik sebagai budidaya untuk pangan, dan potensi sebagai ikan hias juga tinggi,” katanya.
Di kesempatan lain, mahasiswa doktor ilmu ekonomi USU, Jannes Maharaja mengaku aneh, karena Ikan Batak termasuk salah satu ikan yang dilindungi berdasarkan Permen KP 01/2021.
“Tentu menjadi pertanyaan. Kenapa Ikan Batak tidak dibudidayakan oleh pemerintah? Padahal pemerintah dapat berperan dalam pengembangbiakan Ikan Batak ini,” kata Jannes.
Menurut dia, dalam hal ini pemerintah dapat mengalokasikan bantuan dana dan bekerja sama dengan kelompok masyarakat atau sekolah tinggi ilmu perikanan.
“Pemerintah jangan kalah dengan perusahaan swasta nasional seperti Aqua Farm Nusantara di Danau Toba yang mengembangkan budidaya ikan nila sampai menjual ke ekspor,” katanya.
Sementara, Danau Toba dan sungai-sungai yang berada di Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) tersebut sangat cocok untuk budidaya Ikan Batak.
“Tetapi kita tidak melihat pemerintah melirik Ikan Batak ini menjadi salah satu destinasi wisata andalannya, sehingga tidak lagi menjadi ikan yang dilindungi, tetapi bisa dikembangkan sebagai komoditas andalan,” katanya.
Dia pun menawarkan sebuah solusi, pemerintah dapat menciptakan lokasi budidaya Ikan Batak yang hidup di perairan jernih, deras dan berbatu dengan nuansa alami di kawasan Danau Toba.
“Jika lokasi tersebut ditata dengan apik lengkap dengan fasilitas kuliner khas Ikan Batak, tentunya bisa menjadi destinasi,” katanya.